Dari Jakarta ke Dunia: Perjalanan Wilson Lalengke

Liputan24.Com//New York City –
Pada suatu malam Minggu yang tenang, 5 Oktober 2025, Wilson Lalengke berdiri di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, dikelilingi oleh keluarga dan kolega. Suasana dipenuhi antisipasi. Dia tidak hanya akan menaiki pesawat—dia sedang melangkah menuju sejarah. Sebagai Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson diundang untuk berbicara di hadapan Komite Keempat Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Misinya? Menyampaikan petisi atas nama mereka yang suaranya telah lama dibungkam.

Penerbangan ke New York sangat panjang, tetapi bagi Wilson, itu adalah waktu untuk refleksi. Dia memikirkan tentang kisah-kisah yang dia dengar dari para korban ketidakadilan, para jurnalis yang mempertaruhkan segalanya untuk melaporkan kebenaran, dan masyarakat di seluruh Asia dan Afrika yang masih berjuang untuk kebebasan dasar. Dia tidak hanya membawa pidato—dia membawa harapan mereka.

Ketika dia tiba di New York pada 7 Oktober, kota itu menyambutnya dengan kesibukannya yang biasa. Tetapi di dalam Markas Besar PBB, suasananya khidmat. Delegasi dari seluruh dunia berkumpul untuk membahas isu-isu dekolonisasi, penjaga perdamaian, dan hak asasi manusia. Dan di sana, di tengah setelan jas dan jargon diplomatik, berdirilah Wilson—seorang jurnalis warga dari Indonesia, siap untuk menyampaikan kebenaran kepada kekuasaan.

Pidatonya di hadapan Komite Keempat sangat kuat. Dia berbicara tentang pembunuhan di luar hukum, penahanan sewenang-wenang, dan erosi kebebasan politik. Dia tidak berbasa-basi. Dia tidak berbicara dalam abstrak. Dia menceritakan kisah nyata—tentang orang-orang nyata. Dan dengan demikian, dia mengingatkan dunia bahwa keadilan bukan hanya kebijakan—itu adalah janji.

Selama beberapa hari berikutnya, Wilson bertemu dengan para pejabat PBB, pemimpin masyarakat sipil, dan anggota pers internasional. Dia berbagi perspektif Indonesia, tetapi yang lebih penting, dia mendengarkan. Dia mendengarkan cerita dari Sahara Maroko, dari Myanmar, dari Kongo. Dan dalam percakapan itu, dia menemukan kesamaan: kerinduan universal akan martabat, akan suara, akan perdamaian.

Dan sekarang, malam ini—Sabtu, 11 Oktober—Wilson sekali lagi berada di bandara. Kali ini, JFK di New York. Pukul 10:00 malam, dia akan naik pesawat Etihad Airways kembali ke Jakarta. Dia lelah, tidak diragukan lagi. Tetapi dia juga merasa terpenuhi. Karena dia tidak hanya menghadiri pertemuan—dia membuat tanda.

Dia diperkirakan akan mendarat di Jakarta pada Senin pagi, 13 Oktober, pukul 10:00 WIB. Dan ketika dia melakukannya, dia tidak hanya akan kembali sebagai seorang pelancong. Dia akan kembali sebagai seorang pembawa pesan—membawa bersamanya gema percakapan global, dan tanggung jawab untuk menjaga percakapan itu tetap hidup di rumah.

Perjalanan Wilson mengingatkan kita bahwa diplomasi bukan hanya untuk politisi. Ini untuk siapa saja yang memiliki keberanian untuk berbicara, kerendahan hati untuk mendengarkan, dan keyakinan untuk bertindak. Dari Jakarta ke New York dan kembali lagi, dia telah menunjukkan bahwa satu suara—ketika didasarkan pada kebenaran—dapat bergema melintasi samudra.

Dan itu, mungkin, adalah kisah yang paling kuat dari semuanya, Mr. Mc’Ro”

(Red**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *